BAB I
PENDAHULUAN
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus yang
terpeluntir yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena
atau arteri ke testis dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu keadaan
yang termasuk gawat darurat dan butuh segera dilakukan tindakan bedah. Kondisi
ini, jika tidak segera ditangani dengan cepat dalam 4 hingga 6 jam setelah
onset nyeri maka dapat menyebabkan infark dari testis yang selanjutnya akan
diikuti oleh atrofi testis (Sjamsuhidajat, 2004).
Torsio testis juga merupakan kegawat daruratan urologi yang paling sering
terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 400 orang
dibawah usia 25 tahun dan paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas
(12-20 tahun). Janin yang masih berada di dalam uterus atau bayi baru lahir tidak jarang menderita
torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan testis
baik unilateral ataupun bilateral. Torsio testis harus selalu dipertimbangkan
pada pasien-pasien dengan nyeri akut pada skrotum dan kondisi tersebut juga
harus dibedakan dari keluhan-keluhan nyeri pada testis lainnya agar tidak
terjadi kesalahan diagnosis yang dapat berujung pada kesalahan terapi (Cuckow,
2000).
Penyebab dari akut skrotum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta pemeriksaan diagnostik yang
tepat. Sekitar 2/3 pasien yang dicurigai menderita torsio testis dengan
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk menegakkan diagnosis yang
tepat. Keterlambatan dan kegagalan dalam dignosis dan terapi akan menyebabkan
proses torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan
kematian testis dan jaringan disekitarnya (Cuckow, 2000).
Penatalaksanaan torsio testis menjadi tindakan darurat yang harus segera
dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan
menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio. Adapun
penyebab tersering hilangnya testis setelah mengalami torsio adalah keterlambatan
dalam mencari pengobatan (58%), kesalahan dalam diagnosis awal (29%), dan
keterlambatan terapi (13%) (Cuckow, 2000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dg berat 10-14 gr dg panjang 4 cm
ukuran dari anterior ke posterior 3 cm dan lebar 2,5cm dan memiliki bagian2
yakni extremitas superior, extremitas inferior, facies lateralis, facies
medialis, margo anterior (convex), margo posterior (datar).
Testis berada didalam skrotum bersama
epididimis yaitu kantung ekstraabdomen tepat dibawah penis. Testis
kiri terletak lebih rendah drpd yang kanan. Dinding pada rongga yang memisahkan testis dengan epididimis disebut
tunika vaginalis. Tunika vaginalis dibentuk dari peritoneum intraabdomen yang
bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama perkembangan genetalia interna
pria, setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat turunnya testis (prosesus vaginalis) akan
menutup.
Setelah pubertas, selain sebagai organ reproduksi (menghasilkan
spermatozoa) jg sebagai kelenjar endokrin yg menghasilkan hormon androgen yang
berguna untuk mempertahankan tanda2 kelamin sekunder.
Lapisan Pembungkus
Testis (Orchis)
Testis terletak di dalam cavum scrota yg ditutupi oleh scrotum. Dimana
lapisan nya dari luar ke dalam yakni :
a. Cutis
b. Tunica dartos
c. Fascia Spermatica Externa (Aponeurosis MOAE)
d. M. Cremasterica
e. Fascia Cremasterica (Aponeurosis MOAI)
f. Fascia Spermatica Interna (Aponeurosis MTA)
g. Tunica Vaginalis Propia (Lamina Parietalis dan Lamina Visceralis)
h. Tunica Albuginea
Vaskularisasi Testis (Orchis)
-- A.
testicularis dextra ei sinistra cabang dr aorta abdominalis
- V. testicularis dextra yg
akan bermuara ke V. Cava Inferior
- V. testicularis sinistra yg
akan bermuara ke v. renalis sinistra lalu bermuara ke Vena Cava Inferior
Innervasi Testis (Orchis)
Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari plexus
nervacus tertucularis. Plexus ini dibentuk oleh nervus thoracalis VI-XII.
Testis terdiri dari 3 sel
yaitu :
a.
Sel Leydig yang berfungsi untuk menghasilkan hormon testosteron untuk
menumbuhkan ciri2 kelamin sejuder laki2. Sel ini juga sebagai Endocrin
b.
Sel Sertoli yang
berfungsi untuk memberi makan sperma yang dirangsang oleh FSH yang dihasilkan
oleh Adenehypophysis. Sel ini Sebagai sebagai Eksocrin
c.
Sel Spermatozoid yang
berfungsi untuk menghasilkan sperma yang berada pada dinding Tubulus
Seminiferus Contortus. Sel ini sebagai Eksocrin
3 sel ini dibagi 2 bagian
yaitu Sel Leydig Sebagai Endocrin sedangkan Sel Sertoli dan Sel Spermatozoid sebagai
Eksocrin. Testis menghasilkan hormon testosterone yg berfungsi
utk memacu perkembangan system reproduksi steroid pria dan ciri seksual
sekunder pria
2.2 Etiologi Torsio
Testis
Adanya
kelainan sistem
penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara
berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu,
antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat berenang),
ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi,
atau trauma yang mengenai skrotum (Purnomo, 2003).
Faktor
predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis (sering
dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal,
riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang
panjang (Ringdahl & Teague, 2006).
Trauma
dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika
seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena
testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan berputar
searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua
keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis (Wilson & Hillegas, 2006).
2.3
Manifestasi
Klinis
Nyeri akut pada daerah testis disebabkan oleh torsio testis,
epididimitis/orchitis akut atau trauma pada testis. Nyeri ini seringkali
dirasakan hingga ke daerah abdomen sehingga dikacaukan dengan nyeri karena
kelainan organ intraabdominal. Sedangkan nyeri tumpul disekitar testis dapat
disebabkan karena varikokel (Purnomo, 2003).
Pada torsio testis, pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang
sifatnya mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu disebut
akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah
sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut.
Gejala lain yang juga dapat muncul adalah mual dan muntah, kadang-kadang
disertai demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah
rasa panas dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan
orchio-epididymitis (Wilson & Hillegas, 2006).
2.4
Patofisiologi Torsio Testis
2.5
Penegakkan
Diagnosis
1.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
fisik dapat membantu membedakan torsio testis dengan penyebab akut scrotum
lainnya. Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan tampak bengkak dan
hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotumsisi kontralateral.
Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Jika
pasien datang pada keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang terletak
transversal atau horisontal. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri serta tampak
lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena adanya
kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scrotum disebabkan
karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan pemeriksaan
yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga
tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign)
(Ringdahl & Teague, 2006).
Pemeriksaan
fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks
cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan inimemiliki
sensitivitas 99% pada torsio testis(Ringdahl & Teague,
2006).
2.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut
scrotum yang lain adalah dengan menggunakan stetoskop Doppler, ultrasonografi
Doppler, dansintigrafi testis, yang kesemuanya bertujuan untuk menilai aliran
darah ke testis. Stetoskop Doppler dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu
bermanfaat dalam menilai aliran darah ke testis. Penilaian aliran darah testis
secara nuklir dapat membantu, tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus
bisa terlambat ditangani. Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan pemeriksaan
noninvasif yang keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan nuclear
scanning. Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran darah, dan dapat
membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah dinding scrotum. Alat
ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi patologis lain pada scrotum
(Purnomo, 2003).
Pemeriksaan
sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin, dan pemeriksaan
darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali pada torsio yang sudah lama
dan mengalami keradangan steril (Purnomo, 2003).
Pada
umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio testis masih
meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis yang nyata (Minevich,
2007; Ringdahl & Teague, 2006).
Adanya
peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat membedakanproses
inflamasi sebagai penyebab akut scrotum (Rupp, 2006).
a.
Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan urin
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa infeksi traktus urinarius
pada pasien dengan nyeri akut pada skrotum. Pyuria dengan atau tanpa
bakteri mengindikasikan adanya suatu proses infeksi dan mungkin mengarah kepada
epididimitis. Selain itu perlu jugadilakukan pemeriksaan darah dan sediment
urin (Purnomo, 2003).
b.
Pemeriksaan
Radiologis
Color Doppler
Ultrasonography (Saladdin, 2009).
1)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
aliran darah pada arteri testikularis.
2)
Merupakan Gold Standar untuk
pemeriksaan torsio testis dengan sensitivitas 82-90% dan spesifitas 100%.
3)
Pemeriksaan ini menyediakan informasi
mengenai jaringan di sekitar testis yang echotexture\Ultrasonografi dapat
menemukan abnormalitas yang terjadi pada skrotum seperti hematom, torsio
appendiks dan hidrokel.
4)
Pada torsio testis, akan timbul keadaan
echotexture selama 24-48 jam dan adanya perubahan yang semakin heterogen
menandakan proses nekrosis sudah mulai terjadi.
Nuclear
Scintigraphy (Saladdin, 2009):
1)
Pemeriksaan ini menggunakan
technetium-99 tracer dan dilakukan untuk melihat aliran darah testis.
2)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran darah yang meragukan dengan memakai
ultrasonografi.
3)
Memiliki sensitivitas dan spesifitas
90-100% dalam menentukan daerah iskemia akibat infeksi.
4)
Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan
timbul diagnosis negatif palsu
5)
Adanya daerah yang mengandung sedikit
proton pada salah satu skrotum merupakan tanda patognomonik terjadinya torsio.
2.6 Diagnosis Banding
Torsio
testis harus selalu dibedakan dengan kondisi-kondisi lain sebagai penyebab
dari akut scrotum, antara lain (Minevich, 2007; Ringdahl &
Teague, 2006) :
a.
Epididimitis akut
Penyakit ini secara umum sulit
dibedakan dengan torsio testis. Nyeri scrotum akut biasanya disertai dengan
kenaikan suhu, keluarnya nanah dari uretra, adanya riwayat coitus suspectus
(dugaan melakukan senggama dengan selain isterinya), atau pernah menjalani kateterisasi
uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio testis, dapat
dibedakan dengan Prehn’s sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan, pada
epididmis akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign positif), sedangkan
pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative). Pasien epididimitis
akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urin
didapatkan adanya leukosituria dan bakteriuria
b.
Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang
berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara
produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
Hidrokel
yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena: belum sempurnanya
penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan peritoneum ke
prosesus vaginalis (hidrokel komunikans) atau belum sempurnanya sistem limfatik
di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa,
hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder. Penyebab
sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang
menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di kantong
hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma
pada testis/epididimis.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak
nyeri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum
dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya
transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat
tebal kadang-kadang sulit melakukan pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu
dengan pemeriksaan ultrasonografi.
c.
Hernia
incarserata
Pada anamnesis didapatkan riwayat
benjolan yang dapat keluar masuk ke dalam scrotum yang muncul bersamaan dengan
keaadaan peningkatan tekanan intraabdominal seperti batuk atau mengejan. Benjolan
dapat hilang bila berbaring. Ukuran benjolan dapat bervariasi dari kecil sampai
besar, Bila hernia sudah mengalami inkarserta maka gejala yang timbul dapat
berupa mual, nyeri kolik abdomen, konstipasi, keerahan pada skrotum, dan bila
di auskultasi dapat didengat bunyi bising usus di daerah skrotum.
d.
Tumor testis
Pembesaran testis yang tidak nyeri, biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun
dan sering disertai dengan limfadenopati abdomen
e.
Torsio
appendix testis/epididymis
Apendiks testis adalah sisa embriologi di atas testis yang juga bisa
mengalami torsio. Hal ini dapat di deteksi sebagai titik hitam pada
transluminasi
2.7 Terapi
a.
Non
operatif
Pada
beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus dapat
mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2003).
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu
dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio
biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral terlebih
dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke arah medial.
Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi telah berhasil.
Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu menunggu
tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat menghindarkan dari prosedur pembedahan.
Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2003).
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit
gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini
sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya
terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang
dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis mengalami torsio
adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan tindakan detorsi manual akan memperburuk
derajat torsio (Govindarajan, 2011).
b.
Operatif
Torsio
testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk
mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya
iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk
pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang
mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan
(Purnomo,
2003).
Tindakan
operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah yang benar
(reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang mengalami
torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis (Purnomo, 2003).
Tujuan dilakukannya
eksplorasi yaitu (Govindarajan, 2011):
a.
Untuk memastikan diagnosis
torsio testis
b.
Melakukan detorsi testis yang
torsio
c.
Memeriksa apakah testis masih
viable
d.
Membuang (jika testis sudah
nonviable) atau memfiksasi jika testis masih
viable
viable
e.
Memfiksasi testis kontralateral
Perbedaan
pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan oleh kecilnya
kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung lama (>24-48
jam). Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan
eksplorasi dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk
membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan
untuk melakukan orkidopeksi pada testis kontralateral. Saat pembedahan,
dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal ini dilakukan
karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain waktu (Govindarajan, 2011).
Jika
testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan
dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3 tempat untuk mencegah
agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan pada testis yang sudah
mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan kemudian
disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami
nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang terbentuknya
antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari
(Purnomo, 2003).
2.8
Prognosis
Bila dilakukan penangan sebelum 6 jam hasilnya baik, 8
jam memungkinkan pulih kembali, 12 jam meragukan, 24 jam dilakukan orkidektomi.
Viabilitas testis sangat berkurang bila dioperasi setelah 6 jam.
2.9
Komplikasi
Torsio
testis dan spermatic cord akan berlanjut
sebagai salah satu kegawat daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis
tubular pada testis yang terlibat jelas terlihat setelah 2 jam dari torsi. Keterlambatan
lebih dari 6-8 jam antara onset gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau
detorsi manual akan menurunkan angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%.
Putusnya suplai darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
atrofi testis. Atrofi testikular dapat terjadi dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia.
Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau
lebih. Komplikasi
klinis dari TT adalah kesuburan yang menurun dan hilangnya testikular apabila
torsi tersebut tidak diperbaiki dengan cukup cepat. Tingkat yang lebih ekstrim
dari torsi testis mempengaruhi tingkat iskemia testikular dan kemungkinan
penyelamatan (Greenberg, 2005).
Komplikasi
torsi testis yang paling signifikan adalah infark
gonad. Kejadian ini bergantung pada durasi dan tingkat torsi.
Analisis air mani abnormal dan apoptosis testikular kontralateral
juga merupakan sekuele yang diketahui mengikuti
ketegangan testis. Oleh karena itu, resiko subfertilitas harus dibicarakan dengan pasien. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap
dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi
antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari. Komplikasi
lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya testis,
infeksi, infertilitas sekunder, deformitas kosmetik (Graham,
2009).
BAB III
KESIMPULAN
1. Torsio
testis adalah terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya
gangguan aliran darah pada testis.
2. Dari
anamnesis biasanya pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum serta
mengalami pembengkakan pada testis. Sedangkan dari pemeriksaan fisis, testis
membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi
kontralateral serta dari pemeriksaan Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan
pemeriksaan noninvasif yang keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan
nuclear scanning.
3. Terapi
pada torsio testis dengan detorsi manual, yaitu mengembalikan posisi reposisi
ke asalnya. Jika detosi manual berhasil harus dilakukan
operasi(orkidopeksi/fiksasi testis)pada tunika dartos.
4. Keberhasilan
dalam penanganan torsio dengan mencegah testis mengalami atrofi, dimana hal
tesebut berhubungan secara langsung dengan durasi dan derajat dari torsio
testis. Keterlambatan intervensi pembedahan akan memperburuk prognosis serta
meningkatkan angka kejadian atrofi testis.
DAFTAR PUSTAKA
Cuckow, PM. 2001. Torsion of Testis. BJU International
(2000). The Hospital for Sick Children ; Bristol, United Kingdom
Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular
Torsion. British Medical Journal (Overseas & Retired Doctors
Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249
Greenberg, Michael. 2005. Testicular
Torsion page 329. Greenberg’s Text Atlas of Emergency Medicine. Lippicott
Williams – Willkins : Philadelphia
Leape.L.L
. 1990. Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology,; Philadelphia:
W.B. Saunders Company.
Minevich.E.
2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric
urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm
Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta :
Sagung Seto. 2003. 8,145-148.
Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD.
2006. Testicular Torsion. American Family Physician. University
of Missouri–Columbia School of Medicine: Columbia, Missouri
15;74(10):1739-1743.
Rupp.T.J.
2006. Testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas
Jefferson University, akses di http://www.emedicine.com/med/topic2560.htm
Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated.
London and New York : Churchill Livingstone. 1975. 324-325.
Sjamsuhidajat
R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran – EGC. 2004. 799.
Wilson,
Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-Laki dalam
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.
Jakarta: EGC.